Kecap, Rumput, dan Bunda Hebat
Hari menjelang Maghrib. Keluarga Pak Sholeh sudah berkumpul mengitari meja makan persiapan buka puasa sunnah Senin-Kamis. Seperti biasa, sebelumnya anak-anak diminta bercerita tentang aktivitas dan perasaan anak-anak di sekolah hari ini.
Si sulung Fatimah lalu mengawali ceritanya. Meski masih kelas 1 SD, Fatimah mulai ikut berpuasa sunnah. “Tadi di sekolah pas teman-temanku makan siang, aku menghafal Asmaul Husna bunda. Alhamdulillah sudah hafal sampai 60 nama. Oh ya Bunda, sebenarnya tadi siang perutku sakiiit sekali, tapi…” Kali ini Fatimah terdiam sejenak.
“Lho, Kak Fatimah kenapa? Kakak tadi sakit?” kejar Bunda khawatir. “Nggak, Bunda. Saat aku lihat teman-temanku makan, aku jadi ingin makan juga, hehe… Tapi aku, kan, sedang puasa. Jadi aku tahan saja,” lanjut Fatimah dalam ceritanya.
“Terus kenapa Kakak bisa tahan tidak berbuka?” Bunda bertanya lagi. “Mmm… Aku ingat cerita Bunda… Kan, Bunda bilang, kalau rajin puasa boleh masuk surga dari pintu ar-Rayyan… Aku, kan, mau masuk surga Bunda….”
“Maa syaa Allah. Shalihahnya anak Bunda. Bunda doakan semoga kamu istiqamah ya, Nak,” ucap
Bunda terharu. Tak terasa bola mata Bunda tampak berair.
Suara azan Maghrib pun berkumandang. Usai berdoa, semuanya segera bersiap menyantap masakan khas Bunda. Tapi tanpa diduga, tangis Mujahid tiba-tiba pecah. Ia rupanya mencari sesuatu dan tidak ketemu. “Bundaaa, aku nggak mau makaan, nggak ada kecapnya, Bunda….”
“Oya, Bunda minta maaf ya, sayaang, kecapnya baru saja habis dan tadi Bunda lupa beli. Ini, kan, sudah Bunda buatkan telur mata sapi kesukaanmu,” rayu Bunda kepada putra keduanya yang sekolah di PAUD.
Meski sudah dibujuk, Mujahid tetap saja memilih ngambek dan menangis meminta kecap manis kesukaannya jika makan. Akhirnya Bunda memeluk Mujahid dan memangkunya dengan lembut. “Kakak Mujahid, mau Bunda ceritakan tentang anak yang makan rumput ya?”
Mendengar kisah yang terdengar aneh, Mujahid mulai berhenti menangis. “Makan rumput? Memangnya kambing, Bunda?” Mujahid kini jadi penasaran.
“Bukan kambing, sayang. Tapi ia adalah anak di Suriah yang hari ini tidak punya makanan, jadi ia makan rumput untuk mengganjal perutnya karena sudah berhari-hari tidak makan,” Bunda menjelaskan dengan lembut. “Apa iya, Bunda?” kembali Mujahid bertanya. “Kasihan sekali anak itu ya, Bunda.”
“Iya, sayang, kasihan mereka terpaksa makan rumput, mereka tidak bisa makan nasi, telur, atau bahkan kecap setiap hari seperti Mujahid,”
Tiba-tiba tangis Mujahid kembali pecah, kali ini tangisnya karena hal yang berbeda, “Maafin Mujahid ya, Bunda… Aku janji nggak nangis minta kecap lagi, aku kasihan dan malu dengan anak Suriah itu, Bunda.”
“Ya, sayang, syukur nikmat dari Allah ya, In sya Allah akan ditambah lagi rezeki kita.”
Usai percakapan tersebut, kini keluarga Pak Sholeh menikmati menu buka puasa dengan penuh kesyukuran kepada Sang Pencipta.
Bunda yang hebat
Bunda yang hebat adalah yang mampu mengenalkan Rabb dengan indah kepada putra dan putrinya. Lisan sang bunda tak pernah bosan memberikan hikmah atas segala sesuatu di dunia ini adalah karena Sang Ilahi, sang pembuat skenario. Alam sekitar dan peristiwa sehari-hari yang dialami sang anak adalah materi untuk mengenalkan Allah dan menguatkan akidah anak.
Bunda yang hebat adalah yang mampu menanamkan nilai-nilai yang baik kepada anaknya, sehingga nilai-nilai itu menjadi karakter kuat dalam pribadi anaknya.
Pendidikan karakter yang sering digaungkan oleh pemerintah semestinya harus diawali dari dalam keluarga. Seperti dikatakan, ibu adalah madrasah pertama. Ibulah yang menjadi kunci dari semua ilmu dan pendidikan anak-anaknya.
Hal ini disadari oleh para orientalis dan musuh-musuh Islam lainnya. Mereka kini menyerang bukan melalui fisik, tapi dengan merusak wanita-wanita Islam. Akibatnya sebagian wanita lebih memilih berkarir di luar rumah dan abai terhadap pendidikan anak-anak mereka.
Bunda yang hebat adalah yang mampu menjadi teman yang menyenangkan bagi anak-anaknya. Dia menjadi tumpahan cerita bagi mereka. Anaknya tidak segan apalagi takut untuk bercerita, karena ia yakin ibunya akan dengan tulus mendengarkan setiap hal yang ia ceritakan.
Pun jika sang anak melakukan kesalahan, ia tidak menyembunyikan kesalahan yang dilakukan. Ia berani dan jujur meminta maaf kepada orangtuanya dan berjanji tidak mengulanginya.
Bunda yang hebat hendaknya selalu menyisipkan motivasi tertinggi kepada anaknya dalam melakukan setiap perbuatan. Yaitu hanya karena ingin meraih ridha Allah semata.
Bunda yang hebat juga dituntut untuk bisa mengenalkan Nabi-nabi Allah, para Sahabat, dan orang-orang shaleh terdahulu. Menanamkan akhlak dan adab sebagai pembentukan karakter anak di masa depan.
Bunda yang hebat harus pula mengetahui perkembangan dunia Islam sekarang ini. Bisa dengan cara menceritakan perjuangan rakyat Palestina atau Suriah yang sedang melawan penjajah di sana. Hal ini penting untuk membangun empati anak terhadap saudara-saudara Muslim lainnya.
Terakhir, anak-anak shaleh saat ini adalah pondasi kuat membangun bangsa dan peradaban di masa akan datang. Tentunya ia bukan pekerjaan mudah bagi orangtua. Tapi setidaknya harus ada upaya dan kerja keras. Minimal anak-anak melihat teladan dan adab yang baik untuk ditiru oleh mereka.
EmoticonEmoticon