Strategi Mendidik Anak, Mengalah Untuk Menang








Pernahkah kita temukan seorang ayah yang sukses mendidik ratusan siswa di luar rumahnya, tetapi gagal dalam mendidik anak-anaknya sendiri? Saya pribadi terlalu sering melihat itu, bahkan saya termasuk salah satunya.

Sebelum menikah, saya punya pengalaman mengajar anak-anak membaca Al-Qur’an di sebuah lembaga. Puluhan anak alhamdulillah berhasil terbebas dari buta huruf hijaiyah dengan proses yang lancar. Tapi, ketika berhadapan dengan anak sendiri, subhanallah, hambatannya luar biasa.
Mendengar kata ngaji saja, anak saya sudah pasang ancang-ancang untuk balik kanan, kemudian kabur tanpa permisi. Belum lagi aktivitas yang lain, seperti shalat, berdoa, merapikan mainan, menjaga kebersihan, dan sederet pekerjaan lain.

Ketika sudah mau mengaji pun ada problem lain yang bermunculan mengiringinya, seperti posisi yang tidak beraturan. Kadang duduk bersila, kadang jongkok, kadang tengkurap, kadang juga guling-guling bahkan loncat-loncat. Tidak hanya itu, saat diminta untuk mulai mengucapkan huruf suaranya tiba-tiba hilang, tidak ada bunyi sama sekali. Frustrasi sekali saya dibuatnya.

Beruntung, saya mendapatkan nasihat dari salah seorang teman di kajian pekanan. Ia salah satu orang yang sudah kenyang dengan asam garam dunia pendidikan. Saya menganggapnya sebagai ayah sekaligus guru yang bijaksana. Ia bilang, “Kadang, harapan yang terlalu tinggi itu membuat kita menjadi sosok idealis dan susah menerima keadaan. Maka, sebaiknya turunkan sedikit standar harapan itu dan buatlah skala  prioritas.” Jika disederhanakan, nasihat itu kira-kira berbunyi,
“Mengalahlah sebentar saja dan lihatlah hasilnya kemudian.”

Beberapa hari kemudian strategi yang baru ini saya coba terapkan. Saat mulai mengaji, saya biarkan anak saya dengan gayanya sendiri. Dia loncat-loncat, guling-guling, saya diamkan. Yang penting dia mau mengaji dan ada ucapan yang keluar dari mulutnya, walaupun hanya satu huruf hijaiyah.

Saya ikuti gayanya dengan sabar. Sehari dua hari, sepekan dua pekan, dan seterusnya. Hingga akhirnya dia mulai merasa nyaman mengaji dengan saya. Hasilnya? Masya Allah, sedikit-demi sedikit ia mulai bisa fokus. Dalam waktu kurang dari enam bulan, anak saya sudah lancar membaca Al-Qur’an dan mulai semangat untuk menghafal. Tidak hanya itu, dia juga sudah mulai gampang diarahkan dan mudah pula menangkap pelajaran.

Saya meyakini, semua itu terjadi karena taufik dari Allah swt. Sebab Allah-lah ikhtiar saya dengan mengalah sedikit untuk memberikan rasa nyaman serta menjadi teman mengaji yang baik bagi si kecil akhirnya berbuah manis.
Alhamdulillah.


EmoticonEmoticon