Mengharap Suami yang Ideal
Saudariku, para istri yang mulia. Bagaimana mungkin kita menuntut suami agar menjadi suami yang ideal; menuntut ini dan itu, sementara kita tidak mau berusaha memperbaiki diri? Kerap kali seorang wanita hanya pandai menuntut dan merasa tidak puas tanpa mau memandang permasalahan secara bijak.
Untuk menyikapi permasalahan ini secara lebih jelas, ada baiknya kami paparkan beberapa contoh kasus berikut ini:
Kasus Pertama
Seorang istri mengeluhkan suaminya karena tidak pernah kerasan tinggal di rumah. Ada saja alasan yang ia kemukakan untuk dapat segera meninggalkan rumah. Ia pergi sejak pagi-pagi buta dan baru kembali menjelang malam. Ia pun terus-menerus mengajukan protes dan menuntut suaminya agar betah tinggal di rumah.
Namun sayangnya, sang istri tidak memandang akar permasalahan secara bijak, mengapa suaminya tidak kerasan tinggal di rumah?
Ternyata semua itu berpangkal dari kelalaian istri itu sendiri. Pasalnya, ia adalah seorang istri yang awut-awutan dan berantakan; sama sekali tidak pandai menciptakan suasana rumah yang nyaman.
Hampir semua sudut rumah berantakan, ditambah lagi dengan kondisi anak-anaknya yang tak sedap dipandang mata. Ia juga tak pandai menjaga penampilan di hadapan suaminya, tidak terampil mengurus rumah tangga dan selalu menyuguhi suami dengan berbagai masalah dan keluhan. Jika demikian keadaannya, patutkah ia menuntut suami agar betah tinggal di rumah?
Kasus Kedua
Seorang istri mengeluhkan suaminya yang tidak suka makan di rumah, dan lebih senang jajan di luar. Ia segera melontari suami dengan kata-kata yang pedas, seolah-olah tidak menghargai jerih payahnya dan lain sebagainya. Ia menuntut suaminya agar makan di rumah tanpa melihat apa sebenarnya yang menyebabkan suaminya lebih suka makan di luar. Padahal, kenyataannya ia adalah seorang istri yang tidak terampil memasak dan tidak juga mau belajar memasak. Bagaimanakah mungkin ia bisa menuntut suaminya agar puas makan di rumah?
Kasus Ketiga
Seorang istri mengeluhkan suaminya yang lemah dan sering sakit-sakitan. Ia pun merasa kesal mengapa suaminya tidak bisa bugar seperti kondisi suami-suami lainnya. Namun ia sama sekali tidak menyadari bahwa ternyata dirinya adalah seorang istri yang tidak pandai merawat dan mengurus suami. Jika demikian kondisinya, tepatkah sikap mengeluh yang ditunjukkan itu?
Saudariku, itu hanyalah beberapa contoh kasus yang bisa kita jadikan pelajaran. Pada prinsipnya, bagaimana mungkin seorang menuntut hak apabila kewajiban dilalaikan ?. Bagaimana mungkin seorang istri menuntut suami yang shalih sementara kita tidak berusaha menjadi istri shalihah ?. Patutkah kita memimpikan suami kita menjadi suami idaman sementara kita bukan tipe istri idaman ?.
Ada kaidah yang sudah dimaklumi bersama, bahwa di alam ini selalu ada aksi dan reaksi. Reaksi yang timbul sangat bergantung pada aksi. Apabila aksi baik, biasanya reaksi yang timbul juga baik. Sebaliknya, apabila aksi yang ditampilkan tidak baik, reaksinya pun tidak akan baik. Sungguh benarlah firman Allah Jalla Jalaaluhu:
هَلْ جَزَآءُ الإِحْسَانِ إِلاَّ الإِحْسَان
“Tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan (pula).” (QS. Ar-Rahman [55]: 60)
Oleh karena itu, jangan tergesa-gesa mengatakan hal yang tidak-tidak tentang suami sebelum kita melihat bagaimana sebenarnya keadaan dan sikap kita sendiri. Sebab, bisa jadi sikap suami yang tidak mengenakkan hati itu hanyalah sebuah rekasi dari sikap dan perilaku kita sendiri.
————————————————————————–
Diketik ulang dari buku “Surat Terbuka untuk Para Istri” karya Ummu Ihsan dan Abu Ihsan al-Atsari
EmoticonEmoticon