SORE itu setelah menghadiri undangan pernikahan seorang teman, kami membincangkan sesuatu hal yang menarik. Apalagi coba yang dibicarakan setelah menghadiri undangan pernikahan, selain membincangkan topik pernikahan? Ehm…
Pembicaraan sore itu, dimulai dari temanku Dwi yang memergoki Santi memiliki koleksi buku-buku pernikahan di handphone miliknya.
“Cie, lihat-lihat kak! Buku-buku bacaan Santi tentang pernikahan semua nih?,” kata Dwi.
“Coba lihat! Cie-cie,” ujar aku dan Kak Yeti menggoda Santi.
Lantas, aku spontan bertanya,” Santi kamu sudah mau nikah ya?,” tanyaku dengan nada menggoda.
“Gak, tapi gak apa-apa kan kalau mempersiapkan sejak dini,” katanya penuh malu.
“Eh jangan bohong Santi, kamu sebenarnya sudah mau nikah kan? Kalau iya, jangan dulu Santi, kamu mau ngeduliin kak Uni dan kak Yeti ya? Lagian kamu kan, baru lulus SMA kemarin. Emang kamu sudah siap nikah?”cerocos Dwi menimpali perkataan Santi.
“Gak, aku hanya lagi mempersiapkan aja kok, tapi memang sudah pengen nikah sih. Hehee,” tutur Santi dengan wajah yang merah padam menahan malu.
“Dwi gak apa-apa Santi melangkahi kita yang tua juga, mungkin ilmu Santi sudah siap untuk menikah dari pada kita,”bela aku.
Yeti menanyakan kepada Santi perihal kesiapannya untuk menikah.
“Santi, kamu pengen nikah atau siap menikah? Kalau kamu sudah siap menikah, memang kamu sudah mempersiapkan ilmu apa saja,” tanya Yeti.
“Memangnya beda antara pengen nikah dan siap nikah ya kak?” sela Dwi.
“Beda, kalau pengen itu hanya sekadar mau tanpa adanya persiapan. Kalau siap berarti sudah 100% sudah mempersiapkan pernikahan, dari hal-hal terkecil sampai terbesar. Kalau kamu masih belum siap, maka puasalah, namun jika kamu sudah siap maka percepatlah untuk menikah,” tutur Yeti menjelaskan ke adiknya itu.
“Ehm..sepertinya saya sudah siap, buktinya saya sudah baca buku tentang nikah,”tukas Santi ragu-ragu.
“Apa yang kamu baca hanya tentang nikah saja? Kamu sudah baca buku tentang ta’aruf dalam islam, baca buku mendidik anak, baca buku kewajiban dan hak-hak suami istri, dan membaca buku-buku tsaqofah islam yang lainnya belum?,” kata Yeti kembali bertanya.
Memang diantara kami, Kak Yeti usianya paling tua, lahir 3 tahun lebih dulu dari aku. Dan tentu pengalaman dan ilmu Kak Yeti juga jauh lebih dari pada kami bertiga.
“Belum, saya hanya baru baca tentang buku-buku pernikahan, tapi yang disebutkan Kak Yeti tadi belum aku baca. Emang penting ya,? tanya Santi.
“Tentu penting adikku, karena menikah itu bukan hanya membicarakan antara ‘aku dan kamu’, tapi harus memikirkan juga tentang ‘kita’,” kataku menimpali.
“Maksudnya kak?” Santi mulai bingung.
“Ya, maksudnya menikah bukan hanya memikirkan tentang hubungan suami dan istri ketika berumah tangga, atau menikah bukan hanya memikirkan hal-hal yang manis saja antara suami dan istri. Tapi, menikah itu harus juga memikirkan ke depannya, bagaimana cara agar anak-anak yang dilahirkan dari biduk rumah tangga itu dididik menjadi anak yang sholeh dan sholeha dan lain sebagainya,” kataku.
“Bener banget tuh Santi. Lagian kamu masih kecil, sudah biar kak Uni dan kak Yeti aja yang nikah dulu. Kita mah cool and calm aja,” cerocos Dwi.
“Hus, ya ga begitu juga Dwi! Dalam islam, standar seorang wanita muslimah menikah itu bukan dilihat dari besar kecilnya usia tapi dari kematangan ilmu dan cara berpikirnya,” timpal Yeti memarahi adiknya Dwi.
“Sudah paham santi? Menurut kakak, kalau kamu memang ingin menikah alangkah lebih baik jika kamu mempersiapkan ilmu-ilmu lainnya, mulai dari sekarang kamu harus mulai banyak membaca tentang ilmu taaruf, ilmu memasak, mendidik anak, ilmu parenting, dan ilmu-ilmu tsaqofah islam lainnya. Mengapa semua itu harus kita baca? Sebab, dalam islam tugas ibu adalah sebagai madrasatul ‘ula atau madrasah pertama yang akan mengajarkan dan mendidik anak-anaknya. Coba bayangkan, jika ilmu kita masih sedikit, bagaimana nanti dengan kemampuan dan ilmu anak kita? Mungkin tidak jauh berbeda dengan orangtuanya bukan?,” tutur Yeti.
“Kalau menurut saya menikah itu akan indah pada waktunya. Akan ada masa nanti Allah akan mempertemukan kita dengan jodoh kita. Yang terpenting sekarang kamu harus selalu memperbaiki diri terlebih dahulu. Tentu harus memperbanyak buku bacaan tentang berbagai tsaqofah islam bukan hanya tentang hal-hal indah saat menikah,”tambah Yeti.
“Wah, kayaknya kak Yeti sudah siap menikah ya? kata Santi.
“Insha Allah, mohon doanya saja,” ujar Kak Yeti mantap.
“Ehm, Santi coba tanya ke kak Uni juga, mungkin kak Uni juga sudah siap menikah,” kata Dwi mencoba menggodaku.
“Belum, kaka belum siap menikah,”tuturku malu.
“Kenapa belum siap menikah kak Uni? Santi, saja sudah mau?” tanya Dwi heran.
“Kakak belum siap menikah karena belum siap ilmunya. Kakak sekarang masih harus belajar dan mencari ilmu, bukan hanya tentang ilmu-ilmu taaruf atau nikah tapi ilmu-ilmu agama dan ilmu pengetahuan lainnya juga,” kataku mencoba menjawab rasa heran Dwi.
“Kok banyak banget sih ilmu yang harus disiapkan? Nanti kan bisa sambil jalan saja kak?” celoteh Santi.
“Tentu masing-masing orang memiliki prinsip dan alasan untuk menikah berbeda-beda. Karena semua itu memang pilihan setiap individu, apakah sudah siap menikah ataukah belum. Buktinya banyak teman kakak yang masih muda tapi sudah berani menikah, dan mereka bisa belajar sambil jalan. Tentu hal itu patut diapresiasi, tapi tak jarang juga ada yang menikah tapi ia tidak tahu apa yang harus dilakukan di kehidupan setelah menikah. Intinya, semua itu masalah pilihan hidup masing-masing, setiap orang tentu berbeda-beda,” jawabku.
“Terus alasan kak Uni belum siap menikah kenapa?” tanya Santi.
“Kalau boleh jujur, ada masa dulu kakak juga ingin menikah. Kakak dulu berpikir, menikah tentu akan mendapatkan pahala karena sudah memenuhi setengah dari agama. Menikah juga banyak hal positifnya; ada yang memperhatikan kita, ada teman berbagi dan menjadi penyemangat hidup. Namun, suatu hari kakak bertanya-tanya,’apakah keinginan kakak menikah hanya memikirkan aku dan kamu (suami-istri) saja?
Lantas, bagaimana nanti kehidupan pernikahan setelah beberapa tahun ke depan?’. Namun, setelah melalui proses berpikir panjang dan merenung, akhirnya kakak menemukan jawaban dari kegundahan itu,”kataku mencoba membuat penasaran Dwi dan Santi.
“Apa jawabannya kak Uni,”tanya Dwi penasaran.
“Yah, saat ini kakak berpikir bahwa untuk menikah tidak hanya mencari calon suami tapi carilah calon ayah untuk anak-anak kita kelak,” timpalku.
“Maksudnya kak,” kata Santi.
“Yah, ketika kita ingin menikah lihatlah bagaimana seseorang itu bukan hanya baik menjadi suami tapi baik juga menjadi seorang ayah dari anak-anak kita. Misalnya saat proses taaruf, tanyakan bagaimana pandangan dia dalam mendidik anak atau tanyakan nanti anak-anaknya mau dijadikan sosok seperti apa,”kataku.
“Oh begitu ya, kak? Sekarang saya paham,” kata Dwi.
“Tapi saya penasaran lagi nih kak, memang kakak ingin menjadikan anak-anak kakak menjadi sosok yang seperti apa?” tanya Dwi lagi.
“Kakak ingin melahirkan sosok generasi muslim yang berkualitas yang taat pada aturan Allah SWT dan Rasul-Nya. Selain itu, kakak ingin membentuk keluarga yang dicintai oleh-Nya: keluarga penghafal Al Qur’an,” jawabku mantap.
“Subhanallah, sungguh mulia harapan kak Uni. Semoga bisa terwujud,” kata Dwi.
“Amiin. Tapi ada satu hal yang kakak ingin kasih tahu lagi kepada adik-adikku yang sholeha ini, bahwa ketika kita mempunyai cita-cita misalnya ingin membentuk anak-anak yang sholeh-sholeha lagi penghafal Al Qur’an maka bukan hanya kita mengandalkan doa saja tapi harus ada usaha,”kataku.
“Usahanya seperti apa kak?” tanya Santi.
“Yah, jika rahim kita ingin melahirkan anak-anak yang sholeh-sholeha dan penghafal Al Qur’an, maka kita sebagai orangtuanya pun harus mempunyai ilmu-ilmu agama dan berusaha untuk menghafal Al Qur’an juga.
Sebab, anak-anak itu tergantung dari bentukkan dan kebiasaan orangtuanya. Maka dari itu untuk mewujudkan harapan kakak itu, kakak masih ingin belajar dan mengkaji ilmu-ilmu agama dan ilmu pengetahuan lainnya. Terlebih ingin berusaha juga menjadi seorang penghafal Al Qur’an. Walaupun usia kakak sudah menginjak 23 tahun, tapi tidak ada kata terlambat untuk menuntut ilmu, jika kita mau berusaha bukan?” tanyaku.
“Dan yang terpenting kita harus selalu memperbaiki diri, sebab jodoh kita itu cerminan dari diri kita. Jika apa yang kita lakukan hari ini baik, misalnya berusaha ingin menghafalkan Al Qur’an seperti Kak Uni tadi, Insha Allah jodoh kitapun tidak jauh beda dengan apa yang kita lakukan saat ini,” kata Yeti menegaskan.
“Oh, begitu ya? Berarti kak Uni berharap jodohnya seorang penghafal Al Qur’an juga ya?” goda Santi.
“Amiin, mudah-mudah seperti itu, karena orangtua sholeh akan melahirkan anak-anak yang sholeh. Namun, kita manusia hanya berharap, tapi tentu takdir ada ditangan Allah SWT,” jawabku malu.
“Ya. Walau nanti bukan pengafal Al Qur’an, yang terpenting buat kita dia adalah sosok suami yang mencintai Allah dan Rasul-Nya serta calon ayah yang memberikan suritauladan kepada anak-anaknya,” timpal yeti.
“Ya. Amiin. Waallahu’alam,” jawabku.
Pembicaraan sore itu ditutup dengan kesimpulan yang ada dibenak masing-masing. Ehm, tapi satu hal yang pasti bahwa jika kita mempunyai suatu keinginan maka kita tidak boleh menyerah, sebab yang bisa manusia lakukan adalah berdoa dan berusaha bukan? []
EmoticonEmoticon