Ila’ ialah sumpah yang diutarakan suami yang tidak akan
melakukan hubungan dengan istrinya dalam jangka waktu empat bulan. Dan
suami boleh melakukan ila’ sebagai hukuman pada istri asalkan kurang
dari empat bulan.
DALAM rumah tangga, pasti akan selalu ada pertentangan dan
perdebatan. Tak selamanya merasakan kenyamanan dan ketenangan. Sebab,
rumah tangga itu bagaikan perahu yang sedang berlayar untuk menuju pulau
impian. Dan pasti selama diperjalanan akan bertemu dengan segala hala
rintang yang datang menerjang. Pulau impian dalam rumah tangga itu ialah
keluarga yang harmonis, yang diridhai oleh Allah SWT.
Salah satu permasalahan yang sering terjadi, hadir dari pihak istri.
Keluhan seorang istri dalam menjalankan kewajibannya membuat suami
terkadang tidak merasa nyaman. Inilah awal dari adanya perdebatan. Dan
sebagai seorang imam, ia harus mengarahkan istrinya agar mau
melaksanakan kewajibannya dan tidak melakukan hal yang dilarang oleh
Allah SWT.
Ketika peringatan sudah diutarakan namun tidak memberikan efek apa
pun, maka seorang suami boleh memberikan hukuman kepadanya. Anda tahu
ila’? Ila’ ialah suami bersumpah dengan nama Allah Ta’ala untuk tidak
menggauli istrinya lebih dari empat bulan. Nah, jika suami melakukan
cara ini untuk menghukum sang istri, apakah boleh dalam Islam?
Ila’ diperbolehkan untuk memberi pelajaran kepada istri jika
dilakukan kurang dari empat bulan. Sebab, Allah Ta’ala berfirman,
“Kepada orang-orang yang meng-ila’ istrinya diberi tangguh empat bulan
(lamanya), kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” (QS. Al-Baqarah:
226).
Dan juga karena Rasulullah ﷺ pernah meng-ila’ istrinya selama sebulan penuh.
Ila’ haram dilakukan jika hanya dimaksudkan untuk menganiaya istri
dan untuk memberi pelajaran kepadanya. Sebab, Rasulullah ﷺ bersabda,
“Tidak boleh ada madzarat dan tidak boleh menimpakan madzarat,”
(Diriwayatkan Ahmad dan Ibnu Majah dengan sanad yang baik).
Adapun hukum-hukum ila’ di antaranya:
1. Jika masa ila’ yaitu empat bulan telah habis dan suami tetap tidak
menggauli istrinya, maka istrinya meminta suaminya kembali kepadanya,
atau mentalaknya di depan hakim. Dan karena Abdullah bin Umar RA
berkata, “Setelah masa empat bulan habis, maka suami disuruh berhenti
dari ila’ hingga ia mentalak istrinya.”
2. Jika suami meng-ila’ istrinya mengehentikan ila’nya dan tidak
mentalaknya, maka hakim mentalaknya untuk menghindari terjadinya
madzarat.
3. Jika suami yang meng-ila’ istrinya itu mentalaknya setelah
menghentikan ila’nya, maka itu tergantung talaknya. Jika talaknya adalah
talak satu maka talak tersebut adalah talak satu. Dan jika ia ingin
berpisah dengannya maka istrinya dipisahkan darinya dan ia tidak berhak
kembali kepadanya kecuali dengan akad baru.
4. Istri yang ditalak dengan ila’ menjalani iddah talak dan iddahnya
tidak cukup hanya dengan bersih dari haid, karena iddahnya tidak karena
untuk mengosongkan rahimnya.
5. Jika suami tidak melakukan hubungan suami istri dengan istrinya
dalam jangka watu tertentu tanpa sumpah, ia harus dihentikan seperti
suami yang melakukan ila’ terhadap istrinya. Ia harus menggauli
istrinya, atau mentalaknya jika istri memintanya.
6. Jika suami yang melakukan ila’ itu kembali kepada istrinya sebelum
habis masa ia bersumpah tidak akan menggaulinya, ia harus membayar
kafarat sumpahnya.
Rasulullah ﷺ bersabda, “Jika engkau bersumpah kemudian engkau melihat
sesuatu yang lebih baik darinya, maka hendaklah engkau kerjakan sesuatu
yang lebih baik tersebut dan bayarlah kafarat atas sumpahmu,” (Muttafaq
alaih). []
Referensi: Ensiklopedi Muslim Minhajul Muslim/Karya: Abu Bakr Jabir Al-Jazairi/Penerbit: Darul Falah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
EmoticonEmoticon