Atas Nama Cinta
Cinta, satu kata yang tak kan habis dibicarakan sepanjang waktu, kata yang akan terus laku dijual dalam dunia cerita, dunia layar, dan dunia nyata. Cinta itu tidak bisa dilihat namun nyata bisa dirasakan. Cinta tidak dapat diciptakan atau dipaksakan dan tidak dapat dimusnahkan, hanya dapat beralih bentuk.
Cinta dapat ditemukan pada semua hal.Atas nama cinta banyak orang memperoleh kebahagiaan, atas nama cinta pula banyak orang menuai luka nestapa. Karena cinta seseorang yang gagap tiba-tiba menjadi puitis, karena cinta pula seseorang ahli sastra seolah seperti anak kecil yang baru belajar bicara.
Cinta bisa membuat seorang pengecut menjadi pemberani, membuat yang paling berani menjadi jinak dihadapannya. Demi tak ada lautan yang tak bisa diseberangi, tak ada gunung yang tak bisa didaki. Karena cinta pembunuh akan jadi penyayang yang paling baik, cinta pula yang memberi harapan kepada yang putus asa. Atas nama cinta.
Sungguh mulia cinta, ia putih, suci bersih tanpa noda. Cinta adalah kasih sayang yang tulus, yang diberikan pencipta kita Allah swt., Dialah sumber segala kasih sayang dan cinta yang ada di permukaan bumi dan langit serta yang ada diantara keduanya. Allah-lah yang berkehendak menjadikan setiap akal dan hati kita cenderung pada perasaan saling menyayangi, saling membutuhkan. Bukan hanya butuh untuk dicintai, tapi juga butuh untuk mencintai. Cinta adalah fitrah manusia. Tanpa cinta takkan lengkap keberadaan kita sebagai manusia, takkan sempurna kita sebagai makhluk Allah.
Sejak awal penciptaan kita pun, cinta telah berperan disana. Manusia dimulai dari ketiadaan, ruang kosong tanpa waktu, lalu Allah berkehendak menjadikan kita dengan cinta-Nya. Ditiupkan-Nya ruh kepada kita, yang membuat kita menjadi ada. Yang membuat kita bisa merasakan lezatnya hidangan yang kita santap, sejuknya udara disaat hujan mereda, dan membuat semua indra kita bisa berfungsi. Tanpa kehendak Allah dan tanpa izin-Nya, mustahil semua yang ada pada diri kita bisa kita nikmati. Mustahil.
Lalu kita tumbuh dan berkembang di dalam cinta di rahim ibu kita yang tersayang, yang diawali dari pernikahan mulia ayah dan ibu kita. Mereka berdua setiap hari melihat perkembangan kita. Ayah kita begitu gembira menanti kedatangan kita, ditengah usahanya menafkahi ibu dan calon anaknya serta menabung untuk kelahiran buah hatinya ia tak jarang mengingat kita, selalu terusik kerjanya bila muncul pertanyaan ”apakah anakku baik-baik saja?”. Setiap upah yang ia terima selalu diprioritaskannya untuk kita nanti, sering ayah dan ibu kita menahan lapar dengan alasan ”ini untuk si kecil nanti..”.
Ibu, sungguh tak terhitung jasamu ya ibuku tersayang. Setiap hari kita memberatkan dan membatasi mereka dengan tubuh kita yang setiap hari semakin membesar. Setiap hari disibukkannya dengan membaca buku ”bagaimana mempersiapkan kedatangan seorang bayi?”. Ibu kita makan makanan yang bergizi walaupun saat itu mereka tidak menginginkan, bukan karena apa-apa, karena kita membutuhkan gizi dan makanan yang baik. Di masa-masa menjelang kelahiran, semua keluarga besar bergembira, ayah dan ibu kita berdiskusi memilih nama apa yang paling tepat untuk kita.
Sampai kelahiran kita pun dipenuhi dengan cinta yang tulus. Perasaan senang, kuatir dan takut bercampur menjadi satu pada diri mereka berdua. Senang karena kita akan segera lahir ke dunia, kuatir dengan proses persalinan yang mereka lakukan, dan takut jangan-jangan Allah memanggilnya ketika melahirkan kita, sehingga ibu kita tidak bisa menemani dan membimbing kita menjadi dewasa dan menjadi anak yang shalih. Setiap teriakan yang dia keluarkan menambah kecemasan ayah kita yang setia menunggu proses kelahiran kita, bagi ayah kita, itulah waktu terlama yang pernah ia rasakan, ia berpikir ”Ya Allah, saat ini, apapun tidak berarti kecuali kelahiran buah hatiku”.
Teriakan demi teriakan berlanjut, setiap teriakan manggambarkan pertaruhan nyawa yang sedang dilakukan oleh ibu kita. Demi buah hatinya, tak tersisip sedikitpun rasa gentar menjalani semua itu.
Lalu lahirlah kita. Dengan teriakan yang nyaring dan menggema, diperlihatkan wajah kita yang masih belum bisa membuka mata dan masih bermandikan darah ibu kita. Ia tersenyum, merasa dirinya paling bahagia di seluruh semesta. Padahal tadi ia berteriak-teriak kesakitan, semua hilang seketika melihat wajah kita. Inilah cinta. Ayah pun menghambur masuk, mencium ibu dan segera mengumandangkan adzan ke telinga kita, tanda syukur yang mendalam, buyar sudah semua cemas-galaunya. Inilah cinta.
Ketika kita tumbuh dan berkembangpun semuanya diliputi kehangatan cinta, tangis kita menjadi usikan dikala mereka berdua tidur, tapi dengan senang hati ibu bangun, mengganti popok yang basah, menenangkan kita yang rewel untuk tidur kembali, tak berapa saat kita pun membangunkan kembali tidur mereka yang baru sedikit pulas, kali ini karena lapar. Dengan penuh kesabaran, kembali ibu bangun dan menyusui kita sampai kita tenang dan tertidur kembali. Inilah namanya cinta.
Ketika kita beranjak dewasa, mereka mendengarkan semua keluhan dan makian kita, suara kita yang keras saat marah dengan mereka, mereka balas dengan nasihat yang tulus. Diajarinya kita semua hal tentang dunia dan hidup. Setiap hari tak lupa didoakannya kita setelah shalatnya, sampai detik inipun ia masih berdoa.. ”ya Allah, jadikanlah putra-putriku sedap dipandang mata dan berikanlah mereka hati yang lembut dan keshalihan”. Seringkali mereka menangis disaat kita membentak mereka, sakit. Tapi esoknya, kembali diperlihatkannya wajah dan senyum cerianya, kembali memasak makanan dan menyiapkan pakaian kita. Tanpa keluhan. Inilah cinta.
Tapi, mari kita putar balik memori kita. Tulusnya cinta kedua orangtua kita yang selalu memberi tanpa pamrih, sudahkah kita menghargainya dan mengingatnya? Pernahkah kita memberikan hadiah kepada ibu kita, memberikan sekuntum bunga kepada ibu kita, atau sekedar memeluk ibu kita dan mengucapkan ”terima kasih ya ibu..” atas pemberiannya yang tak kan bisa kita balas? Pernahkah kita mengucapkan ”terima kasih ayah, atas upayamu menghidupi dan mencukupi keluarga..” atau pernahkah kita meminta maaf saat kita melakukan kesalahan pada ayah kita? Atau sekedar berdoa bagi mereka berdua setelah shalat? Ingatkah kita pada mereka berdua di saat kita mendapatkan kesenangan?
Lebih jauh lagi, apakah kita termasuk orang yang mengingkari cinta yang diberikan Allah dan rasulnya Muhammad. Kita mengaku ummat Muhammad, menulisnya dalam kolom tokoh idola kita, tapi mungkin tak sedikitpun merindukannya. Padahal rasulullah, manusia mulia yang dijamin masuk surga rela dilempari dengan batu hingga kakinya berdarah, rela dihina, dimaki, dilempari kotoran, demi kita, demi ummatnya. Bahkan sampai wafatnya pun rasul selalu memikirkan ummatnya lebih daripada dia dan keluarganya.
”Ummati.. ummati.. ummati..” itulah kata-kata terakhirnya. Padahal jika tidak ada rasul dan agama yang dibawanya, mana mungkin kita mempunyai kedua orang tua yang baik. Tanpa izin Allah, sumber segala cinta, bagaimanakah orangtua kita bisa ada di dunia ini. Maka kepada Allah-lah kita harus berterimakasih paling banyak dan paling besar, bersyukurlah. Lalu bershalawatlah kepada nabi Muhammad saw. yang memperjuangkan agama Islam dengan darah dan bahaya serta kesusahan. Berikutnya adalah kepada kedua orangtua, atas cinta kasih mereka.
Kita lebih cenderung pada tipuan dunia dibanding mengikuti ajaran Allah yang dibawa oleh Muhammad saw., pun kepada kedua orangtua kita juga seperti itu, kebaikan mereka kita anggap kewajaran yang sangat jarang kita hargai. Kita hanyut begitu saja saat nafsu muncul dalam diri kita. Kita lebih percaya pada kata-kata di televisi, media dan seruan orang lain dibanding orangtua kita.
Kita mungkin tidak mengetahui, ternyata ada orang-orang munafik, kafir dan musyrik yang sengaja ingin menjatuhkan agama Islam yang sempurna dengan berbagai cara dan upaya yang mereka lakukan. Mereka tau pemuda adalah tumpuan ummat, ketika rusak pemuda, maka rusaklah ummat itu pada akhirmya. Mereka lalu memperkenalkan kepada kita budaya-budaya hedonis mereka atas nama cinta, padahal tidak lain hanyalah nafsu yang mereka katakan cinta. Mereka begitu cantik membungkus budaya sampah mereka dengan jargon-jargon, dengan propaganda, iklan dan opini sehingga pemuda muslim tunduk dibuatnya, membebek mereka.
Padahal tujuan mereka sangat jelas. Menjauhkan pemuda dari Islam. Membuat pemuda Islam berfikir bahwa pengajian itu kolot, Islam itu ketinggalan zaman, aturan Allah itu kejam dan lain sebagainya. Satu-satunya yang mereka khawatirkan adalah apabila al-Qur’an dan as-Sunnah menyatu dalam akal dan perasaan setiap pribadi pemuda di dalam masyarakat dan menjelma menjadi peraturan hidup yang diterapkan secara formal dalam kehidupan. Mereka takut dengan itu. Saking cemasnya mereka berusaha agar jangan sampai bersatu antara Islam dan kaum muslim, terutama pemudanya. Karena kalau sampai itu terjadi, maka akan terlihatlah wajah asli mereka yang buruk.
Hanya ada dua jalan yang dijadikan Allah swt. satu menuju ke surga yang diridhai-Nya, satu menuju ke Neraka. Dan hanya ada satu jalan ke surga, yaitu mengambil Islam secara kaaffah. Islam adalah sistem hidup yang sempurna, ia menyediakan semua solusi permasalahan. Dan tidaklah diperkenankan untuk menyembah sesuatu selain Allah, ataupun mengambil ajaran selain Islam, karena itupun berati menyekutukan Allah swt. yang telah menurunkan Islam secara sempurna.
Jangan nodai nama cinta dengan mengatas namakan cinta atas pekerjaan nafsu. Karena cinta berbeda dengan nafsu. Cinta tak akan pernah menginginkan yang dicintai menjadi sengsara dan susah. Jangan katakan cinta apabila ia tahu perbuatannya akan mengantarkan yang dicintainya ke api neraka sementara ia tetap melakukannya. Bukan cinta bila lebih mementingkan ajaran lain selain ajaran nabi Muhammad saw.
Ya Allah, sesungguhnya banyak sekali salah dan khilaf kami kepada-Mu. Kami tahu api neraka itu panas, tetapi tetap saja kami melakukan yang dilarang oleh-Mu. Kami tahu surga itu ni’mat tapi kami tidak berusaha dan bersegera meraihnya. Kami terkadang sombong dengan karunia-Mu, padahal semua yang kami punya dapat Engkau ambil kapanpun Engkau menginginkannya. Kami jarang sekali berbuat baik kepada kedua orangtua kami, seringkali kami membentaknya, memarahinya, memakinya, padahal kami tau ridha orangtua kami adalah ridha-Mu, dan murka orangtua kami adalah murka-Mu.
Ya Allah jadikanlah mereka berumur panjang agar kami dapat sedikit membalas kebaikan-kebaikan mereka yang tak akan bisa kami balas. Jangan jadikan kami orang yang menyesal dan baru menyadari semua kesalahan kami justru pada saat mereka tiada. Ampunilah pada kedua orangtua kami dosa-dosa yang pernah mereka lakukan karena Engkaulah Maha Pemberi Taubat dan Maha Penyayang. Ya Allah kami lemah, tidak memiliki apapun untuk membahagiakan mereka, maka jadikanlah kami anak yang shalih dan shalihah, karena inilah yang baru dapat kami lakukan pada mereka. Rabbana atiina fi ad-dunya hasanah, wa fi al-akhirati hasanah, wa qiina adzab an-naar. wa al-hamdulillahi rabb al-alamin.
Wallahua’lam bi ash-shawab
EmoticonEmoticon