Hijab, Identitas yang Memudar
BELAKANGAN, ada beberapa berita yang berseliweran di beranda fb, atau grup WA, baik itu postingan, berita online bahkan video, menginformasikan beberapa kegiatan keagamaan di luar Islam yang menggunakan pakaian identitas Islam, walaupun tidak ada aturan yang non muslim dilarang menggunakannya, seperti jilbab rapi dan menutup aurat atau pria berpeci, berbaju koko dan menyelempangkan sorban di pundak.
Biasanya berita-berita seperti itu akan memunculkan perdebatan, baik masalah hak menggunakan model pakaian sampai tuduhan kesengajaan pengelabuhan terhadap umat Islam.
Belum lagi kenyataan sekarang pakaian yang menutup aurat begitu ramai diapresiasi masyarakat bahkan menjadi trend, menggembirakan memang, karena jilbab tak lagi dipandang sebagai sesuatu yang asing, tapi di sisi lain ada semacam penurunan kualitas dari pengguna hijab dalam hal akhlakul karimah sebagai seorang muslimah.
Apakah selamanya kuantitas berbanding terbalik dengan kualitas?
Dulu, di tahun 80an, seorang muslimah yang memutuskan hijrah, akan menutup aurat secara sempurna di hadapan orang-orang yang tak berhak melihatnya. Setiap keluar rumah, walaupun hanya beberapa jengkal dari pintu, kalau diperkirakan akan dilihat oleh non mahram, maka dia akan taat mematuhi aturan itu. Bukan karena malu atau dilihat guru, tapi karena takut dosa. Setidaknya, dengan menutup aurat, muslimah tersebut sudah mencegah catatan dosa dari satu sisi, karena disadarinya, begitu banyak peluang dosa yang bisa dilakukan dari berbagai sisi kehidupannya. Dan muslimah seperti itu sangat sedikit.
Bagaimana dengan sekarang?
Tanpa menafikan muslimah yang komitmen dengan jilbab yang sesuai aturan, taat ibadah dan berakhlak mulia, sekarang kita temui banyak fenomena, jilbab sebatas pakaian saat pengajian, kerja atau pesta. Di lingkungan rumah, biasa saja jika jilbabnya ditanggalkan, entah itu menemui tamu, ke tetangga atau belanja ke warung.
Di jalan pun tak sulit kita temui wanita berjilbab mengumbar kemesraan dengan pasangan yang belum halal, sedih, tapi itulah kenyataannya. Kenapa bisa begitu? Logikanya, semakin terbuka informasi, semakin mudah kita mendapatkan ilmu untuk memahami bagaimana seharusnya memahami bagaimana menjalan agama. Kita bisa belajar Islam tanpa harus jadi santri.
Lebih parah lagi saat identitas Islam jadi bahan untuk menebar fitnah atau sebagai pelindung atau penutup kejahatan, seperti yang sekarang sering diberitakan, bagaimana perselingkuhan yang dilakukan seorang hijaber, dan lainnya.
Wibawa jilbab pun semakin menurun, bisa jadi karena beberapa hijaber yang kurang mencerminkan akhlak muslimah, berdampak pada penilaian pukul rata semua hijaber sama saja.
Ingat banget bagaimana di tahun 80an, seorang preman pun tidak berani mengganggu hijaber, takut kualat! Bagaimana sekarang? Tak ada beda, yang berjilbab atau tidak, semua berpotensi sama untuk jadi korban pelecehan seksual! Seakan ayat Al Qur’an tidak berlaku lagi! Bukankah di ayat QS. Al Ahzab ayat 59 Allah berfirman :
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin:
“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Saatnya kita bersegera menambah pemahaman agama, agar tidak semakin kacau saat menilai situasi dan terjebak pada saling tuding serta berdebat dengan sesama muslim. Bahwa kulit tak selamanya menggambarkan isi, bahkan kulit itu bisa dimanfaatkan untuk niat yang tidak baik. Tapi isi yang baik selalu berkulit baik.[]
EmoticonEmoticon