"Anak itu adalah Amanah yg dititipkan oleh Allah SWT kepada Orang Tua"

Anak adalah anugerah terindah sekaligus amanah (titipan) yang Allah berikan kepada setiap orang tua. Oleh karena itu orang tua hendaknya memperhatikan kebutuhan dan perkembangan anak-anaknya, agar mereka tumbuh menjadi anak yang sehat, baik jasmani maupun rohani, dan barakhlaqul karimah serta memiliki intelegensi yang tinggi.


Anak dapat membuat senang hati kedua orang tuanya, manakala anak tersebut berbakti kepada mereka, serta taat dalam menjalankan ibadahnya.

Namun anak juga dapat membuat susah kedua orang tuanya manakala anak tersebut tidak berbakti kepadanya, serta tidak taat beribadah, apalagi kalau sampai terlibat atau tersangkut dalam masalah kriminalitas atau kenakalan remaja yang lain.

Dalam Al-Quran, Allah swt. mengklasifikasikan kedudukan anak menjadi empat golongan, yaitu :

1. ada anak sebagai musuh.

Hal ini Allah jelaskan dalam surat At-Tagobun ayat 14 yang artinya :

“Wahai orang-orang yang beriman..!! Sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka, dan jika kamu maafkan dan kamu santuni serta ampuni (mereka), maka sungguh Allah Maha Pengampun Maha Penyayang.”

Yang dimaksud anak sebagai musuh adalah apabila ada anak yang menjerumuskan bapaknya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak dibenarkan oleh agama.

2. anak sebagai fitnah atau ujian.

Hal ini Allah jelaskan dalam surat At-Tagobun ayat 15, yang artinya :

“Sesungguhnya hartamu dan anak-anamu hanyalah cobaan (bagimu) , dan di sisi Allah pahala yang besar.”

Fitnah yang dapat terjadi pada orangtua adalah manakala anak-anaknya terlibat dalam perbuatan yang negative.

Seperti mengkonsumsi narkoba, pergaulan bebas, tawuran antar pelajar, penipuan, atau perbuatan-perbuatan lainnya yang membuat susah dan resah orang tuanya.

3. anak sebagai perhiasan.

Hal ini Allah jelaskan dalam surat Al-Kahfi ayat 46, yang artinya :

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amal kebajikan yang terus-menerus adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.”

Perhiasan yang dimaksud adalah bahwa orangtua merasa sangat senang dan bangga dengan berbagai prestasi yang diperoleh oleh anak-anaknya, sehingga dia pun akan terbawa baik namanya di depan masyarakat.

4. anak sebagai penyejuk mata (qorrota a’yun) atau penyenang hati.

Hal ini Allah jelaskan dalam surat Al Furqon ayat 74, yang artinya:

“Dan orang-orang yang berkata” Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami) dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.”

Kedudukan anak yang terbaik adalah manakala anak dapat menyenangkan hati dan menyejukan mata kedua orangtuanya.

Mereka adalah anak-anak yang apabila disuruh untuk beribadah, seperti shalat, mereka segera melaksanakannya dengan suka cita. Apabila diperintahkan belajar, mereka segera mentaatinya.

Mereka juga anak-anak yang baik budi pekerti dan akhlaknya, ucapannya santun dan tingkah lakunya sangat sopan, serta memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi.

Dari ke-empat kedudukan anak tersbut, tentu sebagai orang tua menginginkan agar anak-anaknya termasuk ke dalam kelompok qurrota a’yun.

Namun untuk mencapainya diperlukan keserisuan dan ketekunan orang tua dalam membina mereka.

Orang tua hendaknya menjadi figure atau contoh buat anak-anaknya. Karena anak merupakan cermin dari orang tuanya.

Jika orangtuanya rajin shalat berjama’ah misalnya, maka anak-pun akan mudah kita ajak untuk shalat berjama’ah.

Jika orang tua senantiasa berbicara dengan sopan dan lembut, maka anak-anak mereka-pun akan mudah menirunya.

Dan yang tidak kalah pentingnya adalah orangtua hendaknya memperhatikan pergaulan anak-anaknya di dalam masyarakat.

Karena teman juga sangat berpengaruh kepada perkembangan kepribadian serta akhlak anak-anak mereka.

Semoga kita semua diberi kekuatan dan kemudahan dalam membina dan mengarahkan anak-anak kita kepada kelompok qurrota a’yun, sehingga mereka menjadi penyejuk hati, dan pembawa kebahagiaan bagi kedua orangtuanya baik di dunia maupun di akhirat.

Terkadang Kita tak perlu heran terhadap mereka yang telah menyia-nyiakan perintah Allah SWT di dalam hak anak dan keluarga mereka.

Seandainya api dunia mengenai anaknya atau nyaris menyentuhnya, pasti ia akan berjuang sekuat tenaga untuk menghindarkan anaknya dari api tersebut, dan buru-buru pergi ke dokter untuk segera mengobati luka-lukanya.

Adapun api akhirat, maka ia tidak mau mencoba untuk membebaskan anak-anak dan keluarganya darinya. Wallahu al Musta’an.

Padahal Allah ‘Azza Wajalla telah berfirman, artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6).

Seorang ayah adalah penanggung jawab pertama, lantaran ia sebagai pemimpin dalam rumah tangganya, maka ia akan ditanya oleh Allah ‘Azza Wajalla tentang rumah tangganya.

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,

وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُوْلَةٌ عَنْهُمْ

“Seorang suami adalah pemimpin dalam keluarganya, dan ia akan ditanya atas kepemimpinannya, dan seorang istri adalah pemimpin dalam rumah tangga suaminya dan anaknya, maka ia akan ditanya tentang mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Oleh sebab itu, kedua orang tua harus bangkit melaksanakan kewajibannya terhadap anak, berupa perhatian, pengawasan, dan pendidikan yang baik, agar kelak menjadi generasi yang baik dapat memberi manfaat bagi orang tua dan kaum Muslimin yang lain.

HAL PERTAMA YANG PERLU DIAJARKAN KEPADA ANAK.

Orang tua, terutama ibu, memiliki peranan terbesar dalam pendidikan anak-anaknya. Akan tetapi seringkali mereka tidak mengetahui dari mana mereka harus mulai menanamkan akidah Islam pada buah hatinya, bagaimana mengajarkannya dan bagaimana menancapkannya pada hati mereka.

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam adalah teladan terbaik bagi kita dalam segala hal, termasuk dalam pergaulan beliau dengan anak-anak.

Dalam masalah ini, kita bisa memetik lima pokok dalam pendidikan beliau terhadap akidah anak-anak :

1. Membiasakan anak mengucapkan dan mendengarkan kalimat tauhid dan memahamkan maknanya jika ia telah besar.

Wajib atas orang tua untuk menumbuhkan tauhid terhadap Allah pada anak-anaknya sedari dini.

Oleh karena itu, ajarkan dan pahamkan anak bahwa Rabb mereka adalah Allah ‘Azza Wajalla, Dialah yang menciptakan, yang memberi rejeki, yang menghidupkan dan makna-makna rububiyyah Allah lainnya.

Setelah mengenal keagungan Allah dalam rububiyah-Nya, iringilah dengan mengajarkan bahwa Allah-lah yang berhak untuk disembah, diibadahi, disyukuri, diharapkan dan hanya kepada-Nya pula ditujukan segala jenis ibadah.

Tak kalah pentingnya memperingatkan mereka dari syirik dan menjelaskan bahayanya pada mereka.

2. Menanamkan Kecintaan anak terhadap Allah SWT.

Dalamnya kecintaan kepada Allah Subhanahu Wata’ala dan tertanamnya keimanan terhadap takdir-Nya membawa seorang anak untuk bisa menghadapi hidupnya dengan optimis dan tawakkal.

Benih cinta kepada Allah SWT yang tertanam akan menumbuhkan keberanian, karena dia akan menyadari bahwa tidak ada yang pantas ditakuti kecuali kemurkaan-Nya.

Gambaran keberanian yang menakjubkan ini terlukis pada diri seorang anak kecil, hasil didikan generasi mulia, Abdullah bin Az-Zubair.

Suatu saat Abdullah dan anak-anak sebayanya berkumpul dan bermain-main di suatu jalan. Ketika melihat Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhum lewat di jalan tersebut, semua anak berlarian kecuali Abdullah bin Az-Zubair.

Menyaksikan peristiwa itu, Umar merasa takjub sehingga bertanya kepada anak kecil itu, apa sebabnya ia tidak lari seperti anak-anak lainnya...?

Abdullah kecil pun menjawab, “Aku tidak bersalah sehingga aku harus lari, dan aku tidak takut pada Anda, sehingga aku harus meluaskan jalan bagi Anda.”

Inilah sosok mungil Abdullah bin Az-Zubair, tidak ada yang ditakutkannya kecuali kemurkaan Rabbnya karena melanggar larangan atau meninggalkan perintah-Nya.

3. Menanamkan kecintaan anak pada Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam.

Dalam riwayat Bukhari dari Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhum bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدَكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ

“Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga aku lebih dia cintai daripada ayahnya, anaknya dan seluruh manusia.” (HR. Bukhari).

Betapa pentingnya kecintaan terhadap Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam sampai-sampai tidak akan sempurna iman seseorang tanpanya.

Membacakan sirah (sejarah) Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan mengenalkan mereka akan sifat-sifat beliau yang mulia merupakan upaya terbaik untuk menumbuhkan kecintaan mereka pada beliau.

4. Mengajarkan pada anak Al Qur’an Al Karim.

Sepantasnya bagi orang tua untuk memulai pelajaran bagi putra-putrinya dengan Al Qur’an sejak dini.

Yang demikian itu untuk menanamkan pada mereka bahwa Allah adalah Rabb mereka dan Al Qur’an adalah firman-Nya.

Menancapkan ruh Al Qur’an pada hati-hati mereka dan cahaya Al Qur’an pada pikiran-pikiran mereka, sehingga mereka tumbuh di atas kecintaan kepada Al Qur’an.

Hati mereka menjadi terikat padanya sehingga mereka siap untuk mengikuti perintahnya dan berhenti dari larangan-larangan yang ada padanya, berakhlak dengan akhlak Al Qur’an dan berjalan di atas manhajnya.

Imam As-Suyuthi mengatakan bahwa mengajarkan Al Qur’an pada anak merupakan salah satu pokok Islam agar mereka tumbuh di atas fitrahnya, dan cahaya hikmah itu lebih dahulu menancap di hati mereka sebelum menetapnya hawa nafsu, kotoran-kotoran maksiat dan kesesatan.

Para salafus shaleh biasa mengajari anak-anak mereka Al Qur’an sebelum mencapai usia 3 tahun, sehingga kita akan dapati pada usia yang masih belia, mereka telah menghapal Al Qur’an.

Sebut saja Imam Syafi’i, beliau telah hapal Al Qur’an pada usia 10 tahun, demikian pula Imam Nawawi rahimahumallah.

5. Mendidik anak untuk berakhlak yang baik.

Islam sebagai agama yang sempurna dan relevan di setiap tempat dan zaman sangat menjunjung tinggi nilai-nilai akhlak.

Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam diutus tidak lain untuk menyempurnakan akhlak manusia. Sebagaimana sabdanya,
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ

“Aku diutus oleh Allah tidak lain untuk menyempurnakan akhlak yang sholeh” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Al Albani).

Akhlak merupakan tolok ukur iman seseorang.

Sebagaimana Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling sempurna akhlaknya.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albani).

Dalam riwayat lain, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam pernah ditanya tentang penyebab yang paling banyak orang masuk surga. Beliau menjawab,

تَقْوَى اللهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ

“Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad, dishahihkan oleh Al Albani).

مَا مِنْ شَيْءٍ أَثْقَلُ فِي الْمِيزَانِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ

“Tidak ada sesuatu yang paling berat dalam timbangan melebihi akhlak yang baik.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).

Hadits-hadits di atas menunjukkan betapa akhlak yang baik memiliki keutamaan dan ketinggian derajat. Sudah sepantasnya apabila kita berusaha untuk memilikinya. Tetapi perlu diingat bahwa ukuran baik buruknya akhlak seseorang tidaklah didasari oleh selera individu masing-masing, atau menurut adat istiadat yang berlaku di masyarakat. Semuanya harus berpedoman menurut norma Islam.

6. Memilih sekolah / lembaga pendidikan yang baik bagi anak.

Adanya generasi yang buruk, bukan karena kesalahan mereka semata, namun ada faktor lain yang turut menentukan hal tersebut.

Selain keluarga sebagai sekolah pertama bagi anak-anak, pendidikan formal pun memiliki peranan penting dalam pembentukan kepribadian seorang anak.

Akan tetapi, pendidikan formal saat ini, pada umumnya tidak mampu mendidik anak didiknya dengan baik.

Contoh, sekolah / lembaga pendidikan hanya sekadar mentransfer ilmu, sedangkan pembinaan kerpribadian jarang dilakukan.

Belum lagi kurikulum yang diterapkan sebagian besar adalah ilmu umum, sedangkan ilmu agama sangat sedikit sekali, menyebabkan anak didik berperilaku kurang baik.

Wallahu A'lam.


EmoticonEmoticon