Dosakah Jika Seorang Istri Menggugat Cerai Suami?

Assalam’mualaikum

Gus boleh saya bertanya lagi,
Apakah seorang istri menceraikan suami itu dosa?
Tapi seorang suami tidak brsalah, dan suami tidak mahu menceraikan istrinya dikarenakan suami masih sayang, meskipun istri bersi keras MENGGUGAT CERAI SUAMI.

Berdosakah suami bila meninggal kan istri tanpa surat cerai dan tidak memberi nafkah lahir batin walupun belum mempunyai anak?
Tolong dijelaskan Gus Adnan

Saiful Bahtiar (Cakung, Jakarta Timur)
Wassalam’mualaikum
Wa’alaikum salam warohmatullah.
Penanya yang terhormat.
Perceraian adalah perkara halal yang paling dibenci oleh Allah. Perceraian dipilih ketika dibutuhkan saja, yaitu apabila mempertahankan pernikahan akan mengakibatkan mudharat yang lebih besar. Dan jika tidak sangat diperlukan maka perceraian menjadi makruh karena mengakibatkan bahaya yang tidak bisa ditutupi.

Dalam konteks pemtusan hubungan perkawinan, ada tiga metode dan istilah yang dipakai dalam fiqih Islam yaitu cerai talak (talaq), gugat cerai (khuluk), dan fasakh. Cerai talak adalah pemutusan hubungan perkawinan yang dilakukan oleh suami sedangkan gugat cerai adalah permintaan pemutusan hubungan perkawinan yang dilakukan oleh istri.  Dalam literatur kitab fiqih klasik, gugat cerai disebut juga dengan khulu’.

Pertanyaan pertama anda adalah “Apakah seorang istri menceraikan suami itu dosa?

Di dalam islam seorang istri menceraikan suami itu tidak bisa, akan tetapi istri bisa meminta di ceraikan oleh suaminya, dengan istilah Khulu’, yaitu membatalkan pernikahan, caranya, istri meminta kepada suami untuk membatalkan pernikahan mereka dengan memberi tebusan kepada suami seharga mas kawinnya dulu atau setengahnya, atau bahkan tidak membayar (jika suami tidak mahu diberi tebusan) dan itu diperbolehkan apabila seorang suami tidak melakukan kewajibannya, atau istri sangat benci terhadap suaminya sehingga tidak mungkin lagi membangun rumah tangga bersamanya. Akan tetapi, jika tidak ada alasan yang dibenarkan oleh syariat, lalu seorang istri meminta diceraikan itu tidak diperbolehkan, bahkan dihukumi haram (dosa).

Di antara beberapa hadits yang menjelaskan keharamannya adalah:
Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 أيُّما امرأةٍ سألت زوجَها طلاقاً فِي غَير مَا بَأْسٍ؛ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الجَنَّةِ

“Wanita mana saja yang meminta kepada suaminya untuk dicerai tanpa kondisi mendesak maka haram baginya bau surga” (HR Abu Dawud no 2226, At-Turmudzi 1187).
Hadits ini menunjukkan ancaman yang sangat keras bagi seorang wanita yang meminta perceraian tanpa ada sebab yang diizinkan oleh syariat.
Dalam Aunul Ma’bud, Syarh sunan Abu Daud dijelaskan makna ‘tanpa kondisi mendesak’,

أي لغير شدة تلجئها إلى سؤال المفارقة

“Yaitu tanpa ada kondisi mendesak memaksanya untuk meminta cerai…” (Aunul Ma’bud, 6:220)
Dalam hadis lain, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْمُنْتَزِعَاتُ وَالْمُخْتَلِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ

Para wanita yang berusaha melepaskan dirinya dari suaminya, yang suka khulu’ (gugat cerai) dari suaminya, mereka itulah para wanita munafiq.” (HR. Nasa’i 3461)
Al-Munawi menjelaskan hadis di atas,

أي اللاتي يبذلن العوض على فراق الزوج بلا عذر شرعي

“Yaitu para wanita yang mengeluarkan biaya untuk berpisah dari suaminya tanpa alasan yang dibenarkan secara syariat.’
Beliau juga menjelaskan makna munafiq dalam hadis ini,

نفاقاً عملياً والمراد الزجر والتهويل فيكره للمرأة طلب الطلاق بلا عذر شرعي

‘Munafiq amali (munafiq kecil). Maksudnya adalah sebagai larangan keras dan ancaman. Karena itu, sangat dibenci bagi wanita meminta cerai tanpa alasan yang dibenarkan secara syariat.’ (At-Taisiir bi Syarh al-Jaami’ as-Shogiir, 1:607).

Ke dua anda bertanya “Berdosakah suami bila meninggal kan istri tanpa surat cerai dan tidak memberi nafkah lahir batin walaupun belum mempunyai anak?

Penanya yang terhormat.
Al-Qur’an memberi batasan bahwa suami tidak boleh meninggalkan istri lebih dari empat bulan.

Mengenai hal ini, Syaikh Utsaimin memberikan pendapat [Fatawa Nir ‘Aladarb Syaikh Utsaimin, hal 17, Majalatul Buhuts 9/60. Durus wa Fatawa Haramul Makky, juz 3 hal.270] :
Pertama : Tidak benar bahwa Al-Qur’an tidak membolehkan suami meninggalkan istri lebih dari empat bulan sebab tidak ada satu ayatpun yang menyebutkan demikian.

Akan tetapi yang terdapat di dalam Al-Qur’an hanyalah pembatasan tentang orang yang ila’ yaitu suami bersumpah tidak akan menggauli istrinya, kemudian Allah memberikan waktu empat bulan kepadanya, sebagaimana firman Allah “Kepada orang-orang yang meng-ilaa istrinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [Al-Baqarah : 226]

Dibolehkan suami pergi meninggalkan istrinya, lebih dari empat bulan, enam bulan, setahun atau dua tahun dengan syarat tempat tinggal istri aman dan rela ditinggalkan, jika tempat tinggalnya tidak aman atau tempat aman tapi istri tidak merelakan, maka dalam kondisi seperti itu, suami tidak boleh meninggalkan istrinya, dan jika dilanggar dapat dihukumi dosa.Wajib bagi setiap suami untuk menggauli istrinya secara baik.

Dari penegasan dan penjelasan di atas timbulah pertanyaan kecil yang erat terhubung dengan pertanyaan anda, yaitu: “Jika suami pergi setelah sekian lama tanpa memberi kabar kepada istrinya (keluarganya), apakah sang suami harus memberikan surat talaq kepada istrinya?

Syaikh Shalih Fauzan memberikan pendapat [Kitabut Muntaqa Syaikh Fauzan, juz 3/242] :
Tidak perlu sang suami mengirimkan surat untuk menjatuhkan talak kepada istrinya, jika dia berhalangan secara syari’at yang mengakibatkan dia tidak bisa pulang. Maka tidak boleh bagi istri menuntut secara paksa terhadap suaminya agar pulang melainkan setelah ada kemampuan.

Dalam kondisi seperti ini istri berhak memilih diantara dua pilihan; bersabar menunggu kedatangan suaminya atau menuntut hak dengan cara mengajukan talak. Dan sebaiknya suami harus tetap bersabar hingga datang kesempatan untuk pulang. Insya Allah jika ikhlas dan bersungguh-sungguh, maka akan mendapatkan jalan keluar dan pertolongan.

Dalam hal ini orang tua sang suami tetap harus menjaga dan bertanggung jawab terhadap sang istri. (Diterangkan dalam Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita jld-2, hal 111-112 Darul Haq).

Semoga jawaban ini, dapat memberikan solusi terhadap pertanyaan saudara, terima kasih atas pertanyaannya dan semoga Allah melindungi keluarga kita semua. Aamiin..

Wassalamu’alaikum warohmatullah.


EmoticonEmoticon