Ketika Orangtua Membiarkan Sang Anak Pacaran

Di zaman sekarang tak sedikit orangtua yang gundah bila anaknya belum punya pacar. Malah ada yang menganggap pacaran itu hak asasi anak. Kita juga cenderung mendorong remaja untuk memiliki pacar. Lihat saja, jika bertemu kenalan yang membawa anak remajanya, kita dengan entengnya bertanya, “Sudah punya pacar belum?”

Di lingkungan sekolah, kondisinya tak berbeda jauh. Ada guru yang menjodoh-jodohkan siswanya atau meledek anak didiknya karena tidak punya pacar. Begitu pula masyarakat, kurang memberi nilai-nilai yang baik. Tayangan di media pun yang mengandung konten baik terbatas, sedangkan yang buruk banyak.

Semua itu seolah membenarkan remaja untuk mengekspresikan rasa sukanya kepada lawan jenis dengan cara berpacaran. Padahal, perilaku yang jelas-jelas termasuk zina ini sudah menimbulkan dampak buruk, bukan hanya bagi remaja yang melakukan, tetapi juga bagi masyarakat dan negara.

Demi Cinta

Tak sekadar saling suka, dengan dalih membuktikan cintanya, hubungan seks telah menjadi hal lazim dilakukan remaja yang berpacaran. Pada tahun 2012 saja, berdasarkan hasil penelitian Komnas Perlindungan Anak terhadap perilaku seks di kalangan remaja SMP dan SMA, dari 4.726 responden, sebanyak 93,7% mengaku sudah tidak perawan dan 21,6% sudah pernah melakukan aborsi. Angka ini dikatakan terus meningkat setiap tahunnya.

Memang, perilaku seks bebas dan aborsi yang melanda kaum remaja serta pornografi, kriminalitas, dan sebagainya, sangat mengkhawatirkan. Bukan hanya di kota besar, tapi juga di kota kecil. Ambil contoh, di Yogyakarta, sepanjang 2015, Dinas Kesehatan DIY melansir ada 1.078 remaja usia sekolah di Kota Pelajar itu yang melakukan persalinan. Dari angka tersebut, 976 di antaranya hamil di luar pernikahan. Sementara di Ponorogo, dari Januari-Juni tahun ini, tercatat 47 pelajar SMP dan SMA yang hamil di luar nikah.

Tidak Disiapkan

Lantas apa yang membutakan remaja sehingga rela menyerahkan kesucian diri dan tidak takut melanggar norma sosial serta aturan agama? Menurut Dra. Perwitasari, Psi, psikolog dan trainer Yayasan Kita dan Buah Hati, ada beberapa faktor penyebab;

Pertama, pengaruh era digital kini dengan segala kemudahan mengakses konten, adegan, foto, atau film yang mengandung pornografi. Belum lagi media yang menggaungkan gaya hidup berpacaran dan seks bebas, menjadikan itu hal yang lumrah, bahkan dianggap keren. Tak heran, remaja sekarang disibukkan dengan urusan pacaran agar tak menyandang status jones (jomblo ngenes) alias lajang yang tidak keren dan kerap jadi target ejekan sebayanya. “Dan parahnya, untuk menunjukkan kesetiaan, mereka melakukan hubungan seks,” ujar Perwitasari, seraya menyesalkan adanya pesan seks aman yang dipromosikan kepada remaja, bukannya malah tentang pentingnya menjaga kesucian diri.

Kedua, lanjut Perwitasari, kondisi yang terjadi pada kebanyakan anak sekarang. Umumnya mereka tidak dididik oleh orangtuanya karena sibuk bekerja, sehingga anak disubkontrakkan pengasuhannya kepada kakek-nenek, pembantu, atau bahkan ditinggal sendiri di rumah dengan diberi “teman” berupa televisi dan telepon seluler. Ini menyebabkan kurangnya kelekatan emosi dan komunikasi antara orangtua-anak. Secara emosi anak tidak dekat dengan orangtua, tidak ada sentuhan, tiada tempat untuk mengadu, berkeluh kesah, dan bermanja-manja.

“Akibatnya, mereka cenderung mencari orang lain untuk memenuhi kebutuhan mereka mendapatkan kasih sayang. Anak perempuan mencari remaja lelaki, begitu pula sebaliknya, agar bisa memperoleh kasih sayang yang tidak mereka dapatkan dari orangtua,” jelas psikolog alumnus Universitas Indonesia ini. Yang lebih mengenaskan lagi, imbuh Perwitasari, ideologi LGBT kini kuat sekali digaungkan, sehingga muncul pula kasus anak-anak yang terlibat perilaku seksual sesama jenis.

Selain faktor-faktor tersebut, satu hal yang juga amat berperan dalam persoalan cinta remaja yang kebablasan ini adalah tidak disiapkannya remaja oleh orangtua untuk mengelola rasa sukanya pada lawan jenis dan dorongan seksual yang timbul seiring berkembangnya organ-organ seksual mereka. Tertarik pada lawan jenis, kata Perwitasari, adalah hal yang wajar terjadi pada remaja dan itu menandakan dirinya normal. Namun, itu harus dikendalikan agar tidak menjadi perilaku seksual yang kebablasan.

“Sayangnya, kita tidak mengajarkan anak bagaimana mengatasi dorongan seksual itu, tidak menanamkan pentingnya menjaga kesucian diri dan menekankan bahwa perilaku seksual hanya boleh pada laki-laki dan perempuan yang sudah resmi menikah, juga tidak memenuhi kebutuhan psikologis mereka,” ujar Perwitasari. Maka, banyak remaja kita lihat kini memiliki fisik matang, tetapi tidak dibarengi dengan kematangan pada sisi emosi, sosial, spiritual, tanggung jawab, kemandirian, dan kemampuan mengontrol diri.

Bukan hanya itu, orangtua juga tidak punya program untuk meng-install nilai-nilai Islam kepada anak-anaknya. Mungkin saja anak belajar agama di rumah ataupun sekolah, tapi jika hanya sampai tataran pengetahuan (kognitif), tidak benar-benar memahami dan menghayatinya, pagar yang membatasi remaja pada hal-hal yang dilarang agama sangatlah rapuh.

Bagaimana bila dorongan seksual yang dimiliki kalangan muda ini tak bisa dikendalikan, apakah menikah bisa menjadi solusinya? Perwitasari sepakat dengan hal ini. Namun, ia menekankan, yang bersangkutan perlu belajar agar dapat menikah secara bertanggung jawab. “Karena itu, seharusnya orangtua menyiapkan anak sejak sebelum baligh agar dia matang secara emosional, sosial, bertanggung jawab, mandiri, dan tahu tugas serta perannya. Anak juga harus belajar bisnis atau bekerja untuk punya penghasilan. Jadi, kalau dia sudah baligh dan ingin menikah, dia sudah siap lahir batin,” papar Perwitasari
.
Sumber: Majalah Ummi/Klinikf3cinoling


EmoticonEmoticon